Kolom

Awalnya Dari Kampus IAIN Sumut (Cerbung Bagian 1)

163

Berita – “Kapan pertama kali kita jumpa ya Cun?” kutanya seorang kawan dalam percakapan lewat handphone. Dan kurasakan dia terkejut dengan pertanyaaku itu.

“Tumben tanya itu, apa hal?” Acun balik bertanya.

“Pengen romantisan ajalah, hari ini peringatan kudatuli 96 wak, aku teringat kita dulu saat ditangkap, sempat menginap pulak tiga minggu di Bakorstanasda kita,” jawabku sambil melayang ingatan ke masa masa itu, masa horor 27 Juli 1996 yang berujung pada penangkapan kami (aku, Acun, Aswan, dan Kamal) oleh Bakorstanasda Sumut.

“Aku jumpa pakcik dulu waktu ada diskusi di IAIN 1994, pakcik salah satu pesertanya,” Acun mencoba mengingatkanku.

Percakapan kami pun berlanjut, dan aku pun senang, sambil bernostalgia, mendengarkan suara Acun mengalir bercerita kisah-kisah kami. Kupaksa otakku berpikir keras mengingat semua kejadian-kejadian di masa-masa itu.

Siapa yang tak kenal Acun masa itu? Asrul Anwar nama panjangnya, tapi orang memanggilnya Acun. Salah satu orang yang paling dicari kepolisian dan bakostanasda menyusul peristiwa 27 Juli 1996.

Namanya memang cukup populer di kalangan mahasiswa IAIN dan kalangan aktivis mahasiwa Medan. Dia aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Acun ini orang yang cerdas dan elegan. Berpenampilan rapi, flamboyan dan enak didengar saat dia sedang berbicara. Pada saat yang sama dia juga aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID), satu organisasi aktivis mahasiswa yang terkenal cukup berani pada saat itu.

Berbagai kegiatan advokasi petani bersama LSM juga membuatnya berkibar di kalangan luar kampus. Namanya makin melambung setelah aksi para aktivis mahasiwa yang bersolidaritas untuk insiden Dresden 1994. Sempat ditahan di Polda kuingat.

Aku dan Acun memang bekawan cukup lama wak. Kami sama kuliah di IAIN, pun satu angkatanya kami 1992. Meski beda fakultas, aku di Fakultas Syariah di jalan Sutomo, Acun di Fakultas Dakwah di daerah Pancing. Kampus kami berjauhan, tapi kami sering berkomunikasi, terutama bila ada kegiatan seperti diskusi, dan lain-lain.

“Yar, kau ikut diskusi di kantin Sutomo ya besok, cakap-cakap sama kawan dari Jakarta kita wak!” Tiba-tiba aku teringat itu ajakan orang si Acun suatu hari di tahun 1994.

Kawan satu ini memang kerap kali bikin diskusi dan selalu nya aku dia ajak. Kadang dihadirkannya aktivis dari luar Medan. Pernah suatu waktu dia datangkan Heru Binje, aktivis senior yang punya cukup pengalaman perlawanan di Yogya. Dia aktivis Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta. Heri Zulmi pun pernah dia bawa ke kami, salah satu dedengkot aktivis senior asal medan yang kuliah di Bandung. Juga Wignyo Prasetyo alias Wigi, entah apalagi aliasnya. Aktivis Jakarta dari UI. belakangan Wigi ini malah tinggal di Medan beberapa bulan bersama kami hingga pecah peristiwa 27 Juli 1996.

Kek manalah aku tak jadi aktivis? Tiap hari aku ditempel si Acun, diajaknya diskusilah, pura pura diipinjami nya buku lah, macam-macamlah trik si Acun itu. Diskusi kami pun beragam, mulai dari cerita tentang demokrasi, otoriterianisme, gerakan mahasiwa hingga sepak bola. Cerita tentang hal-hal baru yang sebelumnya aku tak paham. Meledak ledak otakku dibuat si Acun ini.

Makanya, suatu hari kupikir bagus lah si Acun ini kubawa ke markas kami untuk kompor-kompor sikit anak-anak yang suka nongkrong. Markas anak-anak Fakultas Syariah, sebenarnya bukan markas, itu rumah kosan kawan kami, Udin Rantau. Syarifudin Hasibuan itu nama panjangnya, mungkin karena asal kampung halamannya Rantau Prapat, dijuluki si Udin Rantau.

Sebelum kuliah di IAIN, kami sama dulu menimba ilmu di Darul Ulum, sebuah pesantren yang terletak di Kisaran. Sampai kuliah sama kami selalu akrab. Udin Rantau ini toke kami, bandar kami, yang sering bayarin kami makan dan minum. Bayarin uang kuliah aku juga kalok kepepet. Maksudku bukan bayarin lah, aku pinjam sementara, karena uang kuliahku sudah raib sebelum kubayarkan. Terima kasih yang sebesar besarnya untuk Udin Rantau, budimu akan terbalaskan dengan rejeki yang berlimpah ruah.

Udin memang pandai begaul, jago mobilisasi. Kalau aksi mahasiswa dia lah yang paling banyak setor orang. Entah apa yang dicakapkannya ke orang-orang itu dulu hingga mau ikut demo.

Nah, rumah kosnya itulah tempat kami nongkrong. Tempat kami cakap-cakap, main Dam, main catur. Makanya kami sebut markas. Kadang sesekali kami gitaran bernyanyi. Tentu saja tanpa tuak ya, kami ini anak IAIN, Syari’ah pulak.

Bukan hanya mahasiswa Syariah, kawan kawan dari fakultas dan kampus lain juga kadang datang. Di markas itulah aku mulai kenal anak-anak dari Fakultas Ushuludin, Dakwah, serta kawan dari UISU. Kamaludin Pane salah satunya, orang yang terkenal gigih dan pantang menyerah, meski kadang slebor. Kamal juga kos bareng Udin Rantau. Ah, kos Kamal di mana-mana. Pasalnya pakaiannya tercecer di beberapa tempat kos kawan.

Kamal aktif di PMII dan seorang penulis handal dari Ushuludin. Syor kali awak kalau baca tulisan-tulisan si Kamal. Kamal ini di kemudian hari sebelum 27 Juli adalah Ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Cabang Medan, bersama Aswan Jaya yang menjadi sekretaris cabang.

Tahun 1997 Kamal di Jakarta, bergerak bersama kawan-kawan aktivis Jakarta, seperti Andi Arief dan Nezar Patria (dua dari sekian aktivis mahasiswa yang pernah diculik orde baru). Kamal pernah ditahan aparat dan mengalami penyiksaan karena aksi pemogokan buruh di Jakarta tahun 1997.

Aku dan Kamal akrab hingga sekarang ini. Orang bilang kami ibarat lepat dan pisang. Tapi entah siapa lepatnya dan siapa pisangnya.

Lewat Kamallah aku kenal anak-anak Ushuludin yang lain. Aswan Jaya, Jefri, Hasan Basri, Lilik, dan lain-lain. Aswan Jaya ini juga tokoh yang cukup populer. Dia ketua Senat Fakultas Ushuludin, cerdas dan elegan, yang kelak di kemudian hari menjadi salah satu orang yang memainkan peran penting dalam proses gerakan reformasi 1998 di Sumut, yang mencapai puncaknya pada demonstrasi massa besar besaran di bandara Polonia tahun 1998.

Hasan Basri yang pada perkembangan selanjutnya banyak fokus di gerakan petani di Sumatera Utara. Kelak Hasan menjadi Ketua Serikat Tani Nasional wilayah Sumut.

Bersama Acun aku berkawan dengan anak-anak Fakultas Dakwah. Ada Jakpar di situ, yang hingga saat ini masih aktif PRD. Dan, tentunya Imran Simanjuntak, yang di gerakan reformasi 1988, bersama Jakpar dan Torop Sihombing (mahasiswa Unika Atmajaya Yogyakarta), menjadi motor berbagai aksi, seperti aksi mogok total pedagang pasar Horas dan aksi ribuan petani Siantar-Simalunguan. Hingga demonstrasi demostrasi besar, ratusan hingga ribuan orang, di Pematang Siantar menjelang kejatuhan Suharto.

Bersama semua kawan inilah terbentuk satu kelompok. Dari situlah kisah ini bermula. Kami Bikin lah organ Solidaritas Mahasiswa IAIN. Kegiatan-kegiatan awal kami hanya diskusi-diskusi tapi pada perkembangannya kami terdorong maju ke aktivitas-aktivitas demonstrasi.

Aksi-aksi kampus dan luar kampus. Di antaranya aksi-aksi yang mengusung isu NKK/BKK. Aksi luar kampus seperti aksi bersama mahasiwa Institut Teknologi Medan dan Forsolima, bersolidaritas untuk Petani Ramunia. Juga aksi solidaritas untuk HKBP.

Tak hanya itu, demonstrasi buruh pun kami mainkan. Salah satunya yang cukup membuat heboh adalah pemogokan buruh Reza Mitra di depan pabrik di Jalan Medan Binjai dan di DPRD Sumut.

Bersambung

Penulis: Ikhyar Velayati (Kesper)

Editor : Redaksi

Exit mobile version