Oleh : Metta Iskandar
Masih ingat H. Mahbub Djunaedi dan Adam Malik? H. Mahbub lahir di Jakarta pada 22 Juli 1933, sementara Adam Malik, atau Haji Adam Malik Batubara pada 22 juli 97,lalu meninggal tanggal 5 September 1984.
Kedua tokoh ini dikenal sebagai begawan wartawan Indonesia. Keduanya tidak mengenyam perguruan tinggi maupun gelar sarjana. Keduanya hanya “SI” alias tidak tamat SD. Reputasi keduanya luar biasa, melebihi sekolahnya.
Mahbub, selain pernah memimpin surat kabar Duta Masyarakat milik NU, juga dikenal kolumnis. Tulisannya nyinyir dalam menelaah sesuatu.
Sedangkan Adam Malik – kakek dari salah satu pengurus PWO IN, Syalimar Malik – bukan hanya pendiri dan memimpin Antara, tapi juga menjadi orang kedua di republik ini, dus pernah memimpin Sidang Majelis Umum PBB.
Luar biasanya, dua tokoh panutan kita ini, ketika memimpin surat kabar dan kantor berita, secuil pun belum pernah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang kini jadi menu utama Dewan Pers dalam meningkatkan profesionalitas wartawan negeri ini.
UKW dikeluarkan Dewan Pers – tertuang dalam peraturan NO I/peraturan – DP/II/20I0/, cantelannya sesuai fungsi Dewan Pers Pasal I5 ayat 2, UU Pers No 40 Tahun I999, khususnya meningkatkan kualitas profesi kewartawanan.
Tinjauan itu sah-sah saja, tidak perlu diperdebatkan. Apalagi, dalam versi Dewan Pers terjadi degradasi wartawan. Siapa saja bisa jadi wartawan, termaksud Pemimpin Redaksi.
Padahal, bekal mereka belum mumpuni, belum pernah menulis, memahami kode etik jurnalistik dan segala.
Eh sudah begitu, regulasi membuat media, saat ini mudah menyusul dicabutnya SIUPP Harmoko oleh UU NO 40 tahun I999.
Akibatnya, jumlah media massa di awal reformasi menjamur, jari kita yang sepuluh tak cukup menghitungnya.
Belum lagi jumlah wartawan yang berkerumun di lembaga pemerintah, di Gedung DPR menjadi saksi bejibunnya wartawan, sehingga membuat gerah tuan-tuan di parlemen.
Di sisi lain, era globalisasi membutuhkan spesialisasi, bukan lagi general. Makanya, entah siapa yang memulai, muncullah usul mepakukan kompetensi kewartawanan, sama seperti guru dan profesi lainnya.
Tujuannya, tidak lain meningkatkan profesionalitas wartawan. Sampai di sini hajatan UKW Dewan Pers masih benar.
Cuma persoalannya, UKW bukan sekadar di ruang kelas, tapi melebar aplikasinya. Tuan-tuan di Dewan Pers yang isinya akademisi dan wartawan senior itu, memberikan label yang tidak enak, hanya mengakui wartawan jika lewati UKW.
Lho buktinya, dalam surat edaran ke instansi pemerintah, hanya melayani wartawan UKW, bukan non UKW yang kalau boleh diusir atau ditolak saja.
Diskriminasi ini terjadi pada wartawan yang lahir di era reformasi ini. Surat edaran ini, jika dikaitkan definisi wartawan, jelas bertolak belakang dengan batasan Wartawan.
Adapun wartawan hanya dibatasi mencari, mengumpulkan informasi, kejadian, memilah-milahnya dan menuangkannya dalam bentuk tulisan, siaran, baik cetakan, televisi, radio dan elektronik lainnya, termaksud internet yang saat ini marak.
Tak ada embel-embel UKW yang sifatnya hanya untuk complement SDM saja. Lagipula, cukup banyak orang piawai menulis berita tanpa lulusan UKW.
Lainnya, entah kenapa wartawan UKW itu juga dilindungi Dewan Pers yang pendekatannya dalam menyelesaikan berita, selalu meminta kepada yang dirugikan dengan hak jawab maupun koreksi. Sedang non UKW, pendekatannya langsung ke Moster ITE, Penjara dan Bui.
Pengakuan istimewa ini diakui beberapa wartawan yang mengikuti UKW saat menjadi peserta yang menggeruduk Dewan Pers. Mereka datang selain bentuk solidaritas, juga sebagai saksi diskriminasi peraturan yang dikeluarkan Dewan Pers.
Jadi, andai saja kedua tokoh tadi hidup – Mahbub dan Adam Malik, pasti akan orasi, menggeruduk Dewan Pers yang bersifat diskriminatif, tidak sesuai amanat UUD I945.
Terus, tidak pula selaras dengan Kode Etik yang mengharamkan pemberitaan tendensius, sekaligus melupakan kelamnya Pers saat era SIUP-nya Orde Baru, hmmm…. (RED).
*Penulis merupakan Ketua Bina Penulis DPP IPJI