Artikel MahasiswaOpini

Janji Hijau Tanpa Aksi Nyata

25
Janji Hijau Tanpa Aksi Nyata

Penulis : Nisa Nurul Hamdiyah (Mahasiswa UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon)

Konferensi COP29 kembali digelar dengan janji-janji besar tentang penyelamatan iklim. Seperti pertemuan sebelumnya, solusi yang ditawarkan tampak ambisius, namun sering kali tak lebih dari sekadar retorika kosong. Banyak proyek yang diusung sebagai “hijau” ternyata menyimpan kontradiksi, seperti kendaraan listrik yang masih bergantung pada energi fosil atau proyek energi terbarukan yang justru merusak lingkungan dan mengorbankan komunitas lokal. Alih-alih mengatasi krisis iklim, pertemuan ini kerap hanya memperpanjang status quo dan menutup mata terhadap ketidakadilan yang terus berlanjut.

Namun, apakah solusi yang ditawarkan dalam COP29 benar-benar efektif, atau hanya ilusi hijau yang memperindah statistik tanpa mengurangi kerusakan? Mengapa janji pendanaan bagi negara-negara berkembang selalu gagal dipenuhi, sementara negara-negara maju tetap bebas mencemari? Benarkah transisi energi ini akan membawa perubahan yang signifikan, atau malah menambah daftar panjang kerusakan baru? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab dengan tindakan nyata, bukan hanya janji-janji tanpa substansi.

Krisis Iklim dan Solusi Imitasi

COP29 kerap kali berfungsi sebagai ajang untuk mengumbar solusi yang di permukaan tampak ramah lingkungan, namun menyimpan paradoks yang justru memperburuk keadaan. Salah satu yang paling disorot adalah kendaraan listrik, yang dipasarkan sebagai jawaban untuk mengurangi emisi karbon. Namun, narasi ini tak sepenuhnya benar. Mobil listrik mungkin tidak memuntahkan asap hitam di jalan, tetapi energi yang digunakan untuk mengisi ulang baterainya masih bersumber dari bahan bakar fosil, terutama di negara-negara yang belum sepenuhnya beralih ke energi terbarukan. Hal ini menciptakan ilusi bahwa kita sedang melangkah maju, padahal jejak karbon tetap ada, hanya dipindahkan ke tempat lain.

Solusi palsu ini bukan hanya soal teknologi kendaraan. Banyak proyek yang diklaim sebagai solusi iklim, seperti proyek energi terbarukan, ternyata memiliki dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat setempat. Misalnya, pembangunan infrastruktur untuk energi hijau yang malah merusak hutan alam atau menggusur masyarakat lokal. Di sinilah paradoks terjadi: solusi yang seharusnya menyelamatkan lingkungan justru menghancurkannya. COP29, dengan segala janji hijau yang dikumandangkan, tampak lebih seperti panggung politik daripada forum untuk menyelamatkan bumi.

Pendanaan Kosong dan Perdagangan Polusi

Salah satu isu terbesar di COP29 adalah soal pendanaan. Melalui New Collective Quantified Goal (NCQG), negara-negara maju berkomitmen untuk menyediakan dana sebesar $100 miliar per tahun sejak 2020 untuk membantu negara-negara berkembang dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim. Namun, hingga saat ini, janji itu belum terpenuhi. Uang yang dijanjikan tetap menjadi utang moral yang menganga lebar. Alih-alih memberikan bantuan konkret, janji-janji pendanaan ini menjadi semacam instrumen politik yang mudah diabaikan oleh negara-negara Global North.

COP29 seakan memperlihatkan bagaimana negara-negara maju berusaha mencuci tangan atas tanggung jawab historis mereka terhadap krisis iklim. Mereka membeli waktu dengan janji-janji pendanaan yang tidak pernah terealisasi, sementara negara-negara berkembang tetap dibiarkan berjuang sendiri melawan dampak perubahan iklim yang menghancurkan. Bahkan, yang lebih mengecewakan, pendanaan ini terkadang dialokasikan untuk proyek-proyek yang justru memperparah kerusakan lingkungan. Di sinilah kita melihat praktik yang mirip dengan “jual beli dosa” di masa lalu, di mana negara-negara kaya membeli izin untuk tetap mencemari, sementara mereka membiarkan negara-negara miskin menanggung beban.

Isu lain yang mengemuka adalah soal pasar karbon, yang merupakan bagian dari pendekatan berbasis pasar untuk mengatasi krisis iklim. Dalam skema ini, perusahaan atau negara bisa membeli izin untuk terus menghasilkan emisi karbon dari pihak lain yang berhasil mengurangi emisinya. Secara teori, ini terdengar baik, tetapi dalam praktiknya, pasar karbon lebih banyak digunakan untuk mencuci tangan. Perusahaan besar dan negara-negara yang kaya emisi lebih memilih membeli izin daripada benar-benar berupaya mengurangi emisi secara signifikan. Ini membuat COP29 seolah menjadi pasar bagi perdagangan polusi, bukan forum untuk pengurangan emisi yang nyata.

Transisi Semu dan Kerusakan Lingkungan Baru

Pendekatan lain yang tampak di COP29 adalah solusi non-market seperti co-firing di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Co-firing mengoplos batu bara dengan biomassa, yang sebagian besar berasal dari kayu, dengan tujuan mengurangi emisi. Pada pandangan pertama, ini terlihat seperti langkah positif. Namun, masalah timbul ketika biomassa yang digunakan diambil dari hutan alam, yang malah mempercepat deforestasi. Emisi dari proses ini mungkin sedikit lebih rendah dibandingkan pembakaran batu bara murni, tetapi tetap jauh dari solusi ideal. Yang terjadi hanyalah pemolesan citra hijau di atas kenyataan yang sama sekali tidak berubah.

Transisi energi semacam ini didorong oleh kepentingan ekonomi dan politik, pada akhirnya hanya menjadi ilusi perubahan. Solusi seperti co-firing bukanlah langkah yang benar-benar membawa kita menuju energi yang bersih dan terbarukan. Sebaliknya, itu hanya menciptakan masalah baru: hutan semakin rusak, emisi tetap tinggi, dan komunitas lokal terpinggirkan. Ini adalah bentuk lain dari greenwashing, di mana solusi teknis yang diusulkan hanya menyembunyikan kenyataan bahwa kita masih bergantung pada bahan bakar fosil.

COP29 telah menunjukkan bahwa krisis iklim membutuhkan tindakan nyata, bukan sekadar janji kosong atau solusi imitasi. Pendanaan yang dijanjikan untuk negara-negara berkembang harus segera direalisasikan, dan transisi energi harus dilakukan dengan cara yang adil dan berkelanjutan. Tidak ada gunanya mengatasi satu masalah dengan menciptakan masalah baru yang sama buruknya. Dunia tidak bisa lagi mengandalkan solusi palsu yang hanya memperpanjang status quo. Kita membutuhkan komitmen yang nyata untuk mengurangi emisi, menghentikan perusakan lingkungan, dan membangun masa depan yang benar-benar berkelanjutan—bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam tindakan yang konkret.(*)

(*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi beritaraya.id

Exit mobile version