Penulis : Ahmad Rizki Alimudin (Direktur Eksekutif SALAM Institute Periode 2022-2024)
Kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan anggota DPRD Kabupaten Cirebon, MJ, mempertegas krisis moralitas di tubuh pejabat publik Indonesia. Kejadian ini terjadi ketika korban, seorang sales promotion girl (SPG), melaporkan pelecehan fisik di ruang fraksi DPRD setelah MJ diduga menawarkan iming-iming tak pantas. Meskipun proses hukum sedang berlangsung, kekhawatiran akan intervensi kekuasaan tetap ada. Kasus ini menyoroti perlunya pengawasan masyarakat agar keadilan dapat ditegakkan tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik yang menekan proses hukum.
Kekuasaan yang Merajalela
Kasus MJ lebih dari sekadar pelanggaran pribadi; ia menunjukkan dinamika kekuasaan yang kerap digunakan untuk menindas pihak yang lebih lemah. Pejabat publik sering kali memanfaatkan posisi mereka untuk melakukan tindakan yang merugikan masyarakat yang mereka layani.
Pelecehan yang dilakukan oleh MJ tidak hanya merupakan cerminan dari kegagalan moral individu, tetapi juga mencerminkan lemahnya pengawasan internal dalam lembaga negara. Ketika pejabat publik, yang seharusnya melindungi, justru menggunakan fasilitas negara untuk bertindak sewenang-wenang, maka kita menyaksikan runtuhnya integritas birokrasi.
Penelitian sosiologis menunjukkan bahwa ketimpangan relasi kuasa sering kali berujung pada penyalahgunaan wewenang, di mana pelaku merasa memiliki impunitas, seperti yang diteorikan oleh Foucault dalam konsep panopticon, di mana kekuasaan menjadi alat pengawasan dan kontrol yang tak terlihat.
Fenomena ini semakin diperparah ketika pelanggaran tersebut terjadi di gedung DPRD, institusi yang seharusnya menjadi simbol representasi rakyat. Tindakan amoral di dalam institusi pemerintahan ini menegaskan adanya krisis dalam integritas moral pejabat yang ditugasi mengawasi pelaksanaan hukum dan kebijakan publik.
Mengutip pendapat Bourdieu tentang habitus kekuasaan, tindakan semacam ini mengakar pada struktur sosial dan kebudayaan politik, di mana pejabat yang berada di puncak kekuasaan cenderung merasa tidak tersentuh oleh hukum dan etika. Ini memperlihatkan sisi gelap birokrasi di mana norma-norma kelembagaan sering kali terabaikan oleh mereka yang memiliki otoritas.
Keadilan di Bawah Tekanan Kekuasaan
Meski penegakan hukum sedang berlangsung, kekhawatiran tentang intervensi politik dalam proses hukum tidak bisa diabaikan. Ini bukan pertama kalinya kekuasaan politik mencoba menghalangi jalannya keadilan. Kita sering kali mendengar kasus di mana pejabat tinggi berhasil meloloskan diri dari jeratan hukum karena pengaruh politik yang mereka miliki. Karena itu, kasus MJ bukan hanya sekadar soal kejahatan moral, tetapi menjadi ujian bagi sistem hukum kita—apakah ia akan menunduk di bawah tekanan kekuasaan, ataukah ia akan bertindak sesuai dengan prinsip keadilan tanpa pandang bulu.
Pengawalan masyarakat, media, dan lembaga pengawas independen menjadi krusial dalam memastikan bahwa kekuasaan politik tidak bisa menekan atau mempengaruhi jalannya proses hukum. Pengalaman sebelumnya menunjukkan, dalam banyak kasus, hukum kerap kali kehilangan taringnya ketika berhadapan dengan mereka yang berada di puncak kekuasaan. Namun, saat ini kita memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa prinsip “hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas” bisa dibalik, dan siapa pun yang melakukan pelanggaran, tanpa memandang jabatan atau statusnya, harus bertanggung jawab di depan hukum.
Sebagai contoh, dalam kajian teori Rule of Law, seperti yang dipaparkan oleh Joseph Raz, penegakan hukum harus berdasarkan pada supremasi hukum, di mana kekuasaan tidak boleh berada di atas hukum. Dalam konteks ini, peran masyarakat sebagai pengawal utama proses hukum sangat diperlukan untuk memastikan tidak ada ruang bagi kekuasaan untuk mencampuri urusan hukum.
Mengawal Keadilan di Tengah Kekuasaan
Penegakan hukum yang adil dan merata menjadi semakin mendesak, bukan hanya untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Kita tidak boleh melupakan bahwa setiap tindakan pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan mencerminkan kelemahan sistem yang seharusnya melindungi masyarakat. Hukum harus ditegakkan dengan seadil-adilnya tanpa pandang bulu agar kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan. Hanya dengan memastikan bahwa kekuasaan politik tidak bisa mengintervensi jalannya keadilan, kita dapat berharap bahwa masa depan sistem hukum Indonesia akan lebih baik.
Di sinilah tanggung jawab kita sebagai warga negara diuji. Ketika masyarakat secara kolektif bergerak untuk mengawasi dan mengawal proses hukum, kekuatan politik yang biasanya tidak tersentuh mulai kehilangan kontrolnya. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari konsep civic engagement, di mana partisipasi aktif dari warga negara diperlukan untuk menjaga agar hukum tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
Jika pengawalan publik terhadap kasus ini kuat, maka kita dapat berharap bahwa kekuatan politik yang selama ini kerap kali mengalahkan hukum, tidak akan lagi memiliki ruang untuk melakukan intervensi. Dengan kata lain, keberhasilan dalam penanganan kasus MJ ini akan menjadi cerminan dari berhasilnya masyarakat dalam melawan kekuasaan yang sering kali menyalahgunakan otoritasnya. Dan, dengan hukum yang ditegakkan secara tegas dan merata, kita dapat memutus siklus penyalahgunaan kekuasaan yang selama ini merusak tatanan etika dan moral bangsa.
Kita dihadapkan pada pilihan penting: apakah kita akan membiarkan kekuasaan tetap menang di atas hukum, ataukah kita akan memastikan bahwa hukum benar-benar berlaku bagi semua, tanpa memandang jabatan dan posisi. Seperti yang pernah dikatakan oleh Montesquieu dalam teorinya tentang separation of powers, kekuasaan harus dikendalikan dan diimbangi oleh hukum, bukan sebaliknya. Hanya dengan cara inilah kita bisa mengakhiri siklus kekuasaan yang korup dan menciptakan tatanan masyarakat yang lebih adil.(*)
(*) Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi beritaraya.id