LAMPUNG, BERITARAYA.ID – Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan meminta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mewaspadai dan bergerak cepat mengatasi ditanamkannya Ideologi anti pancasila sejak usia dini diberbagai pesantren maupun organisasi pendidikan lainnya.
Pernyataan Ken tersebut merupakan respons dari laporan BNPT ketika rapat dengan Komisi III DPR pada Selasa (25/1) lalu, Dalam laporannya BNPT mengungkapkan bahwa sebanyak 198 pesantren terafiliasi dengan sejumlah organisasi teror dalam negeri.
“Saya temukan sendiri di lapangan, banyak pondok yang dimanfaatkan oleh berbagai oknum untuk orasi-orasi ujaran kebencian. Bahkan ideologi anti pancasila sudah ditanamkan sejak usia dini, ini gawat,” ujar Ken Setiawan dalam rilisnya via Whatsapp ke Redaksi Beritaraya.id, Kamis (3/2/2022).
Ken menambahkan bahwa setelah BNPT membuka data tersebut, ditunggu tindakan sangsi nyata BNPT, Densus dan Kementrian Agama kepada pesantren yang terlibat jaringan terorisme, jangan hanya menjadi isu liar yang lalu dibiarkan meluas dan menjadi polemik dimasyarakat.
Ken mengatakan bahwa banyak oknum yang seringkali memanfaatkan organisasi-organisasi ataupun sekolah dan pesantren dalam menyebarkan paham radikal. Menurut Ken, Pihak kepolisian tidak dapat menindak orang yang memiliki paham radikal sebelum melakukan tindakan terorisme.
“Yang bisa ditindak aparat terkait tindakan terorisme, adalah orang-orang yang telah melakukan tindakan itu. Termasuk mendukung dan mendanai atau pelatihan. Sementara orang yang punya pemikiran radikal itu tidak bisa ditindak,” tuturnya.
Titik lemah ini, menurut Ken, yang seringkali dimanfaatkan para penyebar iedologi radikal. Pasalnya, meski organisasi ber-paham radikal itu dibubarkan, tetapi oknum dalam organisasi itu tidak ditangkap.
“Yang bisa ditindak hanya organisasinya. Tetapi ketika organisasi ini dibubarkan, orang yang punya paham radikal ini tetap bebas, dan mereka dapat membuat organisasi serupa di tempat lain,” paparnya.
Menurut dia, BNPT harus bekerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan guna mencegah paham radikal meluas di kalangan anak muda, termasuk santri.
“Ancaman radikalisme dan terorisme ini fakta, banyak orang yang menjual agama sebagai kedok untuk melancarkan aksi dan ambisinya. Ini merupakan tragedi kemanusiaan atas nama agama, karena sejatinya tidak ada agama yang mengajarkan radikalisme dan terorisme. Ini fitnah terhadap umat beragama,” pungkasnya.
Dilansir dari CNN Indonesia, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar meminta maaf terkait polemik data BNPT soal 198 pondok pesantren yang diduga terafiliasi jaringan terorisme.
Hal itu dia sampaikan usai bertemu dengan para jajaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Kantor MUI, Jakarta Pusat, Kamis (3/2).
“Saya selaku Kepala BNPT menyampaikan juga permohonan maaf karena memang penyebutan nama pondok pesantren ini diyakini memang melukai perasaan dari pengelola pondok, umat Islam yang tentunya bukan maksud daripada BNPT untuk itu,” kata Boy.
Ia turut mengklarifikasi soal kalimat ‘terafiliasi jaringan teroris’ pada pesantren tersebut. ‘Terafiliasi’ itu, kata dia, terkoneksi yang berkaitan dengan individu-individu tertentu, bukan menyangkut lembaga.
Lebih lanjut, Boy mengatakan bahwa data-data tersebut tersebut berdasarkan hasil rangkuman dari proses penegakan hukum yang dilaksanakan selama 20 tahun belakangan ini.
Ia kembali menegaskan bahwa data yang disampaikan tersebut merupakan oknum. Oknum itu, kata dia, diduga terhubung, berkaitan, saling mengenal, terpapar hingga menjadi pelaku dari kejahatan terorisme.
“Tapi sekali lagi, itu adalah bukan dari kelembagaan secara keseluruhan, termasuk tentunya yang kami sebutkan itu. Jadi itu adalah bagian dari individu individu yang terkait,” kata dia.