Opini

KPK Terperangkap dalam Labirin Politik

26
KPK Terperangkap dalam Labirin Politik
Ahmad Rizki Alimudin (Direktur Eksekutif SALAM Institute Periode 2022-2024)

Penulis : Ahmad Rizki Alimudin (Direktur Eksekutif SALAM Institute Periode 2022-2024)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah lama menjadi simbol pemberantasan korupsi di Indonesia. Dikenal karena keberaniannya menangkap pejabat tinggi dan menuntaskan berbagai kasus besar, KPK pernah mendapatkan pujian luas baik di dalam maupun luar negeri.

Namun belakangan ini, lembaga ini seakan kehilangan arah. Semakin banyak kontroversi yang melibatkan kebijakan internal KPK, mulai dari revisi Undang-Undang KPK hingga konflik antara Dewan Pengawas dan pimpinan lembaga. Semakin jelas bahwa posisi KPK dalam memerangi korupsi kini tergerus oleh politik praktis. Apakah KPK masih mampu menjaga independensinya dalam menjalankan tugas mulianya?

Tumbangnya KPK Sebagai Simbol Kepercayaan Publik

Pada awal berdirinya, KPK dikenal sebagai lembaga yang sangat dipercaya publik. Operasi tangkap tangan (OTT) menjadi simbol keberhasilan KPK dalam memberantas praktik korupsi yang mengakar di Indonesia. Beberapa kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi, seperti mantan Ketua DPR Setya Novanto, yang terseret dalam skandal korupsi e-KTP, menunjukkan bagaimana KPK bertindak tegas tanpa pandang bulu. Kepercayaan ini semakin solid seiring dengan kemampuan KPK menangani kasus-kasus besar yang melibatkan penguasa dan politisi terkemuka.

Namun, sejak disahkannya revisi Undang-Undang KPK pada 2019, segala hal mulai berubah. Salah satu perubahan terbesar adalah penguatan Dewan Pengawas yang berfungsi mengawasi jalannya operasional KPK. Dalam prakteknya, perubahan ini telah menimbulkan sejumlah masalah. Dewan Pengawas, yang terdiri dari pihak-pihak yang tidak terpilih melalui jalur independen, justru kerap kali terlibat dalam konflik internal dengan pimpinan KPK mengenai penanganan kasus-kasus besar. Hal ini tidak hanya menghambat kelancaran tugas KPK, tetapi juga memunculkan keraguan tentang apakah lembaga ini masih bisa bertindak bebas dari intervensi eksternal.

Penurunan dalam jumlah operasi tangkap tangan yang dilaksanakan oleh KPK semakin memperburuk citra lembaga ini. Survei yang dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) pada 2021 menunjukkan penurunan signifikan dalam penanganan kasus besar, dengan lebih sedikitnya pejabat tinggi yang diproses hukum. Pada periode 2020-2021, jumlah OTT yang dilakukan KPK turun drastis dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Fenomena ini memperlihatkan bahwa KPK kini kesulitan untuk melanjutkan perannya sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi.

Lembaga yang Kini Dipolitisasi dan Lemah

Revisi UU KPK yang dilakukan pada 2019 juga membawa dampak langsung pada kemampuan KPK untuk bertindak secara tegas dan independen. Salah satu perubahan yang kontroversial adalah pengurangan kewenangan KPK dalam menyelidiki kasus-kasus tertentu tanpa persetujuan dari institusi lain, seperti kepolisian dan kejaksaan. Kebijakan ini menambah beban birokratis yang semakin menyulitkan KPK dalam menjalankan fungsinya.

Selain itu, ketidakjelasan posisi KPK dalam menjalankan tugasnya semakin terlihat dengan adanya ketegangan antara Dewan Pengawas dan pimpinan KPK. Dewan Pengawas yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas eksternal, malah terkadang terlihat seperti pihak yang mengendalikan operasional KPK. Pengaruh politik yang semakin kuat juga terlihat dalam struktur organisasi KPK yang lebih banyak mengakomodasi kepentingan partai politik daripada memperkuat kapasitas pemberantasan korupsi.

Kekhawatiran akan politisasi KPK semakin meningkat setelah beberapa pimpinan KPK yang terpilih dianggap lebih mengutamakan kepentingan politik dibandingkan penuntasan kasus korupsi. Kasus yang melibatkan menteri dan pejabat tinggi, yang sebelumnya menjadi sorotan utama KPK, semakin berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa KPK kini tidak lagi bebas dari pengaruh politik yang mempengaruhi langkah-langkah penindakan mereka.

Krisis Legitimasi dan Kepercayaan Publik

Salah satu dampak paling nyata dari pelemahan KPK adalah krisis kepercayaan publik. Data dari Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan penurunan kepercayaan publik terhadap KPK, yang sebelumnya tinggi. Penurunan ini tercermin dalam survei yang dilakukan ICW dan lembaga lainnya, yang mengungkapkan bahwa mayoritas publik merasa KPK tidak lagi efektif dalam memberantas korupsi, terutama di tingkat atas.

Kepercayaan yang menurun ini bukan tanpa alasan. Masyarakat yang dulu berharap banyak pada KPK merasa kecewa dengan penurunan kualitas penuntasan kasus, serta berkurangnya OTT terhadap pejabat tinggi. Beberapa kasus yang melibatkan mantan pejabat besar, seperti kasus suap yang melibatkan eks Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri Kelautan Edhy Prabowo, meskipun cukup mencuat, tidak sebanding dengan jumlah kasus yang ditangani pada awal berdirinya KPK. Angka-angka ini menjadi simbol betapa KPK kini hanya mampu menangani kasus-kasus skala kecil, sementara kasus-kasus besar semakin sulit disentuh.

Bahkan, beberapa pengamat menilai bahwa KPK kini telah menjadi alat politik yang lebih menguntungkan bagi pihak tertentu. Penurunan jumlah operasi tangkap tangan, penanganan yang lebih selektif terhadap kasus-kasus besar, dan ketergantungan pada birokrasi yang kian kompleks semakin menunjukkan bahwa KPK telah kehilangan relevansinya sebagai lembaga pemberantasan korupsi yang bebas dari intervensi.

KPK, yang dulunya menjadi simbol harapan pemberantasan korupsi di Indonesia, kini terperangkap dalam berbagai kontroversi yang melemahkan kemampuannya. Kebijakan yang dikeluarkan pasca-revisi UU KPK, konflik internal antara Dewan Pengawas dan pimpinan, serta penurunan tajam dalam jumlah kasus yang ditangani, semakin membuktikan bahwa KPK kini telah kehilangan fungsinya sebagai lembaga yang independen dan efektif. Publik yang dulu sangat percaya pada kemampuan KPK kini mulai meragukan integritas lembaga ini, menjadikannya simbol dari harapan yang terabaikan. Untuk itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk menilai kembali peran KPK dan mencari jalan untuk memulihkan kredibilitas dan independensinya dalam memberantas korupsi di Indonesia.(*)

(*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi beritaraya.id

Exit mobile version