Oleh : Eko Sulistyo
Belakangan ini makin banyak musisi dunia ambil bagian berkampanye tentang perubahan iklim. Aksi global untuk mengurangi jumlah gas rumah kaca (GRK), dan bergerak menuju emisi nol pada pertengahan abad ini.
Mereka menyadari, tur dengan terbang keliling dunia bermain untuk ribuan penggemarnya setiap malam, telah menyumbang emisi karbon CO2 yang berdampak pada pemanasan global.
Kini mereka telah menemukan cara, dengan mengajak para penggemarnya untuk menghitung biaya lingkungan dari setiap tur yang akan dilakukannya. Contoh yang paling fenomenal adalah Coldplay, bintang konser dua dekade dengan tiket yang selalu terjual habis.
Saat merilis album “Everyday Life”, group musik rock asal Inggris ini mengumumkan tidak akan lagi melakukan perjalanan konser “jika tidak netral karbon”.
Dalam cuitannya belum lama ini, Coldplay juga mengundang Presiden Jokowi untuk berbicara dalam konser Global Citizen Live tentang perubahan iklim, dan menjadi trending topic. Cuitan itu bisa dibaca sebagai kepercayaan kepada Jokowi, selain penggemar musik rock, juga salah satu kepala negara yang aktif dalam pembahasan isu-isu iklim global.
Sebagai kelompok musik ternama dengan fans mayoritas generasi milenial, pengaruh Coldplay jelas sangat besar dalam menyuarakan isu perubahan iklim.
Kelompok musik lain yang juga dalam posisi terdepan dalam isu perubahan iklim adalah BTS (Beyond the Scene) dari Korea Selatan. Kelompok K-pop ini baru saja tampil di panggung sangat terhormat Sidang Ke-76 Majelis Umum PBB di New York, pertengahan September lalu.
Di depan peserta sidang, frontman BTS Kim Nam-joon, kembali mengingatkan soal isu penting dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) 2030, yang salah satunya adalah merawat Bumi.
Jika BTS sudah berkehendak, komunitas penggemarnya yang populer dengan sebutan ARMY segera bergerak. ARMY sudah menanam ribuan pohon sebagai aksi mitigasi krisis iklim, mulai dari negara asalnya Korea Selatan sampai Filipina.
Fans K-pop Indonesia, tahun lalu membantu kampanye daring mempersoalkan penggundulan hutan di Papua dengan tagar #SavePapuanForest, dan sempat menjadi topik yang paling dibahas dalam Twitter.
Kebetulan Coldplay dan BTS, baru saja melakukan kolaborasi merilis lagu “My Universe” yang mendapat sambutan meriah dari warganet. Pada hari pertama diluncurkan saja, tagar#MyUniverse telah dicuitkan lebih dari dua juta kali.
Pesan dari kolaborasinya adalah, dalam proses produksi, sejak kerja kreatif di studio, hingga output dalam format CD dan vinyl, termasuk transportasi bagi personel dan awak pendukung, mensyaratkan pasokan energi bersih dan berkelanjutan.
Lirik dan Gerakan
Kelompok K-pop lain adalah Blackpink, digawangi empat perempuan belia dari negeri yang sama dengan BTS, ditunjuk sebagai Duta Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP-26) 2021. Saat merilis videonya untuk mendorong kesadaran publik tentang arti strategis COP-26, di Glasgow, November mendatang, videonya sudah diunduh 60 juta fans mereka di seantero dunia.
Blackpink menyebut COP26 menjadi momentum penguatan gerakan Kesepakatan Paris 2015, dan menyerukan penggemarnya yang populer disebut BLINK lebih peduli terhadap isu perubahan iklim.
Beberapa musisi kini makin vokal menyuarakan isu lingkungan dan perubahan iklim, dan diamplifikasi para penggemarnya. Pada K-pop, misalnya, sebagian besar fans mereka adalah generasi milenial, yang secara sadar melakukan perjuangan bersama untuk masa depan iklim yang lebih sehat.
Melalui media sosial, fans K-pop mendiskusikan dan mengangkat kesadaran warga dunia pada dampak perubahan iklim, seperti polusi, gelombang panas, naiknya permukaan laut, banjir, dan kebakaran hutan.
Perubahan iklim telah menjadi isu yang makin krusial, dan sejumlah musisi merasa terpanggil untuk terlibat. Jaden Smith seorang rapper, kepeduliannya terhadap krisis iklim tercermin melalui musiknya. Salah satunya adalah nomor “Boombox Warfare” hasil kolaborasinya dengan Xiuhtezcatl, aktivis perubahan iklim dan musisi hip-hop, yang mengajak publik untuk memikirkan dampak krisis iklim terhadap alam, terutama satwa liar yang makin terancam.
Langkah yang hampir sama ditunjukkan Billie Eilish, bintang pop yang dinobatkan “Ratu Iklim”. Dalam setiap konsernya, Eilish mendirikan camp yang disebutnya “Billie Eilish Eco-Village”, dimana penggemarnya dapat belajar tentang perubahan iklim.
Eilish juga pernah bergabung dengan aktifis belia dari Swedia, Greta Thunberg, dalam aksi #FridayForFuture yang menginisiasi gerakan mogok sekolah setiap Jumat untuk menentang perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim bagi sebagian besar masyarakat bisa jadi masih terlalu abstrak, diperlukan strategi untuk membangun narasi mengkomunikasikan perubahan iklim. Meski telah banyak hasil penelitian dan laporan tentang perubahan iklim, namun para pekerja kreatif di bidang musik, perlu dilibatkan.
Seringkali terbukti, sebuah isu yang berat dan abstrak, setelah dikemas ulang melalui lirik lagu, langsung terinternalisasi pada masyarakat.
Kita masih ingat ketika kelompok musik asal Bandung The Rollies, pada akhir 1970-an merilis tembang “Kemarau” yang sarat pesan lingkungan. Lagu itu seolah memberi ramalan apa yang terjadi saat ini, ketika pemanasan global benar-benar terjadi.
Fenomena krisis iklim sejatinya sudah dilihat musisi sejak lama, bahkan jauh sebelum Protokol Kyoto (1997), yang dianggap sebagai tonggak perhatian global tentang isu perubahan iklim.
Banyak kelompok musik dan musisi tanah air yang dianggap konsisten mengangkat isu lingkungan seperti Iwan Fals dan Efek Rumah Kaca (ERK). Dari segi namanya sudah terdeteksi, ERK adalah kelompok yang secara sadar mengasosiasikan dirinya dengan isu lingkungan. Namanya mengingatkan kita dengan istilah gas rumah kaca (GRK), faktor penentu dalam perubahan iklim dan pemanasan global.
Kemudian Iwan Fals, musisi balada dengan komunitas pendukung yang sangat besar, dan layak disebut influencer. Setidaknya ada lima lagu Iwan Fals yang bertemakan lingkungan, seperti “Panggilan dari Gunung” dan “Pohon untuk Kehidupan”.
Namun baik ERK, Iwan Fals maupun musisi lainnya, belum menempatkan lirik lagunya secara eksplisit menyebut diksi perubahan iklim. Dengan kata lain problem kedaruratan pemanasan global belum sempat tersentuh.
Meyakinkan masyarakat awam soal dampak perubahan iklim adalah “seni” tersendiri. Seniman, musisi dan pekerja kreatif, sangat dibutuhkan dalam mengkomunikasikan dan mendesiminasikan informasi perubahan iklim.
Melalui kerja kreatif mereka, teks laporan yang tebal soal perubahan iklim dan dampaknya, bisa diringkas secara menarik melalui lagu dan bahasa yang mudah dipahami dan diterima masyaakat.
Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero).