JAKARTA, BERITA.press – SETARA Institute menilai beberapa peristiwa sepanjang bulan September ini setidaknya telah merefleksikan bagaimana para pejabat alergi terhadap kritik dari warga negara.
Ismail menambahkan Kedua, adalah teror bom molotov yang diarahkan pada kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pada 18 September, dimana LBH Yogyakarta, yang sedang mengadvokasi beberapa kasus krusial salah satunya kasus Wadas.
“Terakhir, adalah laporan yang dilayangkan Luhut B. Panjaitan terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas diskusi hasil riset dalam konten Youtube yang mengungkapkan dugaan keterlibatan Luhut di balik relasi ekonomi-Ops Militer Intan Jaya,” tambahnya.
Selanjutnya Ismail mengataka rentetan peristiwa tersebut menggambarkan bagaimana penyempitan ruang publik (decreasing civic space) dan pengkerdilan ruang publik (shrinking civic space) sedang bekerja dalam demokrasi kita.
“Oleh karena itu, SETARA Institute menyampaikan beberapa pernyataan sebagai berikut: Pertama, sekalipun langkah hukum adalah hak warga negara, SETARA Institute menyayangkan jalan dan cara pintas para pejabat negara dalam merespons kritik,” katanya.
Seharusnya, Ismail menyatakan kritik dijawab dengan kritik bantahan, riset dibalas dengan produk riset dan seterusnya. Ia melanjutkan inilah yang menyehatkan demokrasi kita.
“Terlebih, kritik yang disampaikan bukanlah tuduhan tak berdasar, melainkan beranjak pada hasil penelitian yang tentunya telah dilakukan secara obyektif, rasional, dan independen melalui berbagai metode ilmiah yang telah divalidasi. Dengan demikian, para pejabat negara tampak tidak memahami bagaimana diferensiasi antara kritik yang berdasar pada bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan dengan pencemaran nama baik yang memang bermuatan penghinaan tanpa didasarkan pada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Kedua, bahwa rentetan peristiwa yang terjadi tersebut adalah alarm bagaimana kebebasan akademis dan berekspresi para pembela HAM dan aktivis sedang dalam ancaman. Apa yang terjadi seolah menyiratkan pesan terhadap masyarakat sipil bahwa mengkritik pejabat negara hanya akan berujung pada upaya kriminalisasi.
“Bagaimanapun sangat jelas bahwa langkah hukum para pejabat negara itu lebih menggambarkan penggunaan kuasa untuk membungkam kritik. Untuk itu, negara harusnya hadir dan kembali menegakkan jaminan atas kebebasan berpendapat sebagaimana janji Pasal 28E ayat (3) Konstitusi RI,” jelas Ismail.
Ketiga, bahwa pada hakikatnya, hasil penelitian adalah bagian dari kebebasan akademis. Selain kampus, lembaga-lembaga riset atau NGO juga turut menjadi bagian penting dalam upaya pemajuan ilmu pengetahuan dalam rangka peningkatan intelektual bangsa.
“Untuk itu, iklim kritis yang datang dari masyarakat sipil seharusnya dapat terus dikembangkan sebagai kontrol pemerintah dalam setiap tindakannya. Terlebih, negara telah berkomitmen dalam memajukan ilmu pengetahuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (5) Konstitusi RI,” lanjut Ismail.
SETARA Institute mengingatkan Kapolri untuk menepati janjinya dalam mengimplementasikan UU ITE secara selektif dengan mengedepankan sifat persuasif.
“Pasal penghinaan dan pencemaran nama baik yang didalilkan seharusnya tidak dapat menjadi dasar yang kuat untuk menjerat para pembela HAM, mengingat yang mereka lakukan adalah murni didasarkan pada hasil penelitian yang obyektif, independen, dan ilmiah.
Menurut Pengajar Hukum Tata Negara, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini janji Polri Presisi dan pengarusutamaan restorative justice, akan diuji dalam penanganan pelaporan atas sejumlah aktivis.
“Kapolri masih bisa meyakinkan publik atas kecemasan yang mengemuka tentang masa depan demokrasi dengan tidak menindaklanjuti laporan-laporan tersebut dan mendorong penyelesaian yang presisi dan berkeadilan,” tandas Ismail. (IBC | RED)
Artikel ini tayang pertama di Indonesiaberita.com