Oleh : Jakaria Al Jabar*
Awal tahun selalu menjadi moment penuh harapan dimana orang-orang menatap tahun baru sebagai momentum penuh antusias untuk menyongsong lembaran baru agar lebih baik dari tahun sebelumnya.
Namun di tahun 2023 ini kita dihadapkan dengan seliweran isu-isu yang kurang sedap berkaitan dengan tantangan ekonomi global termasuk negara kita ini
Belakangan ini jagat maya dihebohkan dengan kata ‘resesi’. Saking populernya kata tersebut, banyak orang merasa was-was untuk menghadapi tahun 2023 yang juga digadang-gadangkan sebagai tahun yang gelap bagi perekonomian.
Resesi adalah kondisi dimana ekonomi negara memburuk karena penurunan Produk Domestik Bruto (PDB), meningkatnya pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut. Sedangkan resesi global dapat diartikan bahwa kemerosotan ekonomi dialami oleh seluruh negara. Tentunya dampak yang dialami tiap negara akan berbeda-beda sesuai ketahanan ekonomi masing-masing.
Melihat kondisi ekonomi Indonesia sekarang ini yang mana masih tertatih dalam proses pemulihan dampak dari pandemi, pertumbuhan ekonomi untuk Tahun 2022 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 5,72% secara tahunan pada kuartal III 2022. Pasalnya dampak terjadinya pandemi covid-19 masih dirasakan seluruh masyarakat di dunia. Kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat selama dua tahun lebih yang bertujuan untuk meredam penyebaran covid-19 sangat mempengaruhi roda perekonomian.
Perekonomian dan stabilitas perdagangan di dunia belum kembali normal pasca pandemi yang diperparah oleh terjadinya perang Rusia dengan Ukraina. Kedua negara yang merupakan produsen komoditas penting di dunia, seperti migas, gandum, kedelai, pupuk dan lainnya. Pasokan komoditas tersembut menjadi terhambat ke beberapa negara di eropa sehingga menimbulkan krisis energi dan pangan. Akibatnya, harga-harga komoditas tersebut meningkat tajam. Inflasi pun tak terhindari akibat menurunnya pasokan migas dan pangan.
Kondisi Indonesia yang mulai membaik ini juga tak terlepas dari bayang bayang perkiraan sejumlah lembaga international diantaranya dari Bank Dunia, Dana Moneter International (IMF) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) yang mengisyaratkan bahwa ekonomi dunia di tahun 2023 memasuki kondisi resesi global yang tentunya akan berdampak juga bagi negara kita.
yang paling ditakutkan dari resesi adalah terjadinya depresi ekonomi. Depresi ekonomi dapat disebut juga sebagai resesi ekstrem yang berlangsung hingga dua tahun berturut-turut. Artinya, jika sudah sampai terjadi depresi ekonomi, berarti masalah perekonomian belum dapat teratasi. Hal ini membawa dampak yang kian memburuk, seperti angka pengangguran yang lebih tinggi dan berdampak secara global.
Dampak paling besar yang akan dirasakan oleh masyarakat adalah turunnya harga beli, disebabkan pendapatan masyarakat hilang atau terpotong sehingga masyarakat tidak dapat membeli barang dengan normal.
Dengan merosotnya harga beli berpengaruh bagi pasokan barang yang juga turun dengan tingkat permintaan tetap dan mengakibatkan barang – barang yang tersedia atau ditawarkan sedikit dengan permintaan tetap menyebabkan kenaikan harga.
Kekhawatiran tentunya sangat wajar dirasakan oleh setiap negara ditengah kondisi ekonomi yang tidak menentu dan masih dalam proses pemulihan pasca wabah ini, kemudian harus di tempa dengan isu ancaman ekonomi lagi yang dilatari oleh gejolak politik, perang dan inflasi yang sedang membayangi perekonomian negara di dunia termasuk Indonesia.
Sejauh ini, kondisi perekonomian Indonesia masih menunjukkan ketahanan dan prospek yang baik. Fakta mengenai hal itu disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) yang digelar pada Rabu (30/11/2022), Perry optimis terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. Ia mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 diperkirakan tetap kuat.
Di Indonesia sebenarnya hal ini bukanlah yang pertama kali terjadi, Indonesia mengalami yang namanya resesi pada tahun 1963, 1998, serta pada 2020/2021. Pada tahun 1963, saat itu Indonesia sempat mencatatkan pertumbuhan negatif dalam dua kuartal berturut – turut. Resesi yang terjadi saat disebabkan oleh hiperinflasi. Kala itu diberitakan bahwa resesi akibat dari kebijakan pemerintah yang membuat belanja pemerintah melonjak sehingga menyebabkan hiperinflasi bahkan defisit sampai 600% pada tahun 1965.
Lalu pada tahun 1998 terjadi pula kendala keuangan yang terjadi di Asia termasuk Indonesia yang terjadi 9 bulan berturut – turut. Mulanya, hal ini memang terjadi karena masalah keuangan yang terjadi di Asia, tetapi faktor lain yang menyebabkan Indonesia semakin terpuruk adalah karena Indonesia banyak utang luar negeri.
Terlepas dari semua isu ancaman ekonomi tersebut, yang mana ramai akan menghantam kembali ekonomi global pada tahun 2023 ini, Indonesia tidak perlu terlalu larut terhadap isu dan prediksi tersebut, namun harus tetap waspada dengan sinyal ancaman ekonomi di tahun ini, dengan mengukur strategi dan menentukan langkah yang tepat guna membangun pemulihan ekonomi agar lebih stabil.
- Penulis Merupakan Mahasiswa , Fakultas Sosial dan Sastra (FASOS), Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI)