Puisi yang engkau persembahkan untukku pada momen pernyataan cintamu, masih tertulis jelas pada selembar kertas. Telah kubingkai baik-baik, agar aku bisa membacanya sepanjang waktu. Kujaga, sebagaimana aku menjaga perasaanku kepadamu. Dengan begitu, aku tetap bisa mengecap kebahagiaan atas dirimu di dalam kenangan selepas perpisahan kita.
Entah bagaimana keadaan lukisan yang kuberikan kepadamu seminggu setelah hari jadian kita, sebagai balasan atas puisimu. Aku tak tahu, sebab kita tidak lagi berkomunikasi. Tetapi aku yakin saja kalau kau masih menjaganya, sebab aku yakin kalau kau pun masih mencintaiku. Bagaimanapun, perpisahan kita terjadi bukan atas dasar keinginan kita.
Dahulu, kita bahkan telah saling berjanji untuk bersama selamanya. Kita saling mencintai, dan kita yakin kalau perasaan kita akan tetap sama. Namun akhirnya, kita tidak bisa mengelakkan keadaan bahwa mengikatkan cinta kita dengan tali pernikahan, berarti mengikatkan hubungan antara keluarga kita. Dan sialnya, keluarga kita tak sepahaman.
Perpisahan kita terjadi karena ayah dan ibuku tak merestui hubungan kita. Mereka menganggap kau dan keluargamu tak sepadan dengan kami. Hingga akhirnya, karena desakan mereka, aku menyerah dan pasrah untuk memisahkan diri darimu. Terlalu banyak kemungkinan buruk yang kutakutkan jikalau melawan kehendak orang tuaku demi mempertahankan hubungan kita.
Semua itu memang terjadi karena gengsi soal materi. Kau berasal dari keluarga yang menggantungkan hidup dengan usaha toko kelontong, sedangkan orang tuaku adalah pengusaha perhotelan yang sukses. Kau hidup dalam kesederhanaan, sedangkan aku hidup dalam kemewahan. Karena itulah, orang tuaku tak sudi kalau aku hidup dalam kerentanan ekonomi dengan bergantung pada penghasilanmu yang masih merintis karir menjadi seorang penulis.
Tetapi rasa cinta membuatku tidak memperhitungkan soal materi. Aku mencintaimu, dan aku tak peduli kalau kita mesti hidup pas-pasan di tengah perjuangan kita untuk mencapai kemapanan sebagai seniman. Apalagi, aku selalu menyimpan keyakinan kalau suatu saat kau akan menjadi seorang penulis terkenal, sedangkan aku akan menjadi pelukis ternama.
“Jangan berpikir-pikir lagi untuk menikah dengan lelaki urakan itu!” tegas ayahku pada satu malam, di dalam kamarku, setelah kau pergi meninggalkan rumah kami karena maksudmu menikahi ditolak mentah-mentah. “Kau ini masih muda! Belum saatnya kau menikah! Fokuslah pada pendidikanmu!”
Ya. Waktu itu, kita memang terhitung masih muda untuk bersepakat menikah. Kita masih berada di tahun kedua perkuliahan pada kampus kita masing-masing. Tetapi menjadi sepasang kekasih selama setahun, telah membuat kita saling memahami dan yakin untuk menjadi sepasang suami-istri.
“Aku sudah dewasa, Ayah. Aku berhak menentukan jalan hidupku sendiri. Aku ingin menikah dengannya, dan aku tak akan melalaikan pendidikanku karena itu,” tanggapku, dengan air mata yang terus menetes.
Ayahku menggeleng keras. “Mau jadi apa kau dan keturunanmu kalau kau menikah dengan lelaki yang tak jelas masa depannya seperti itu? Kau ini perempuan. Kalaupun sudah saatnya kau menikah, kau harus menikah dengan lelaki yang sanggup menjamin keperluan hidupmu.”
“Tetapi kami saling mencintai, Ayah!” sergahku. “Untuk apa harta yang banyak kalau tidak saling mencintai dan membahagiakan? Lihatlah, Ayah dan Ibu malah sering bertengkar karena persoalan uang!” tangkisku, menyinggung hubungannya dengan ibuku yang kerap diwarnai percekcokan.
Ia lantas mengembuskan napas yang panjang. Tampak cukup tersinggung. “Tetapi bagaimanapun, ikatan pernikahan tidak cuma butuh cinta. Ikatan pernikahan hanya bisa bertahan dengan sokongan materi. Kalau tak hidup berkecukupan, mungkin aku dan ibumu sudah bercerai. Tetapi karena kami mapan secara finansial, kami bisa mempertahankan hubungan.”
Aku diam saja dengan ketidaksepahaman.
“Kita tidak bisa hidup dengan makan puisi! Semua butuh uang!” tanggapnya, tegas. Ia lalu tampak menenangkan dirinya, lantas duduk di sampingku. “Nak, lihatlah kenyataan di luar sana, betapa banyak orang yang menikah dengan alasan kalau mereka saling mencintai. Tetapi akhirnya, mereka berpisah karena kemiskinan. Dan aku yakin, itulah yang akan terjadi kalau kau menikah dengan lelaki itu.”
Seketika, aku merasa kesal mendengar ia meremehkanmu dan membaca takdir masa depan kita dengan buruk. “Ayah, kehidupan itu seperti roda yang berputar. Aku yakin, suatu saat, ia akan menjadi seorang yang sukses, bahkan menjadi seorang yang kaya raya, seperti yang Ayah inginkan. Karena itu, restuilah kami untuk menikah dan hidup bersama.”
Namun tanggapanku malah membuat emosinya kembali melonjak. Ia lantas berdiri dan mengoarkan ultimatumnya, “Kalau kau ngotot menikah dengannya, aku akan berhenti menanggung keperluan hidupmu! Aku akan berhenti mendukung dan memodali aktivitas berkesenianmu! Aku akan berhenti membiayai kuliahmu di institut kesenian itu!”
Aku lalu kembali bungkam dengan kesadaran bahwa alasan-alasanku demi mendapatkan restunya untuk hubungan kita, hanya akan sia-sia.
Ia lantas keluar dari kamarku, dan mengakhiri perdebatan kami.
Setelah peristiwa itu, perlahan-lahan, kita saling mengambil jarak. Kita jadi saling menghindari pada setiap kegiatan sebuah lembaga kesenian kota yang mempertemukan kita. Kalaupun kita kebetulan bertemu, kita hanya akan jadi serupa dua orang asing. Aku sadar untuk tidak lagi memberimu harapan, sedang kau pun tampak belajar untuk membunuh harapanmu terhadapku.
Waktu demi waktu, hubungan kita makin merenggang. Dan setelah kuliahmu selesai, kita akhirnya benar-benar terpisah. Kau pulang ke kota kelahiranmu di pulau seberang, sedang aku tetap di kota ini. Jarak yang jauh, kepentingan yang tak terkait, dan kesadaran untuk membunuh harapan akan kehidupan bersama, membuat kita sama-sama menahan diri untuk berkomunikasi, bahkan untuk sekadar bertanya kabar atau berbalas tanggapan di media sosial.
Namun keterpisahan raga, kukira tidak memutuskan pertautan hati kita. Itulah yang kubaca dari laman media sosialmu yang kerap kuintip-intipi. Pasalnya, empat tahun selepas kita selesai kuliah, kau sama sepertiku, yang tak juga mengikatkan diri dalam hubungan yang baru. Kau sama sepertiku, yang kukuh menjaga kesucian cinta kita, meski itu berarti kita akan menjomlo selamanya.
Tetapi lewat dunia maya juga, aku menuai kemirisan setelah menyaksikan kalau kau tak lagi menggeluti kecintaanmu pada seni. Aku tak lagi menemukan unggahan puisimu di media massa atau media sosialmu. Kau tampak nyaman hidup sebagai karyawan pabrik dan melupakan mimpimu untuk menjadi penyair besar. Kau tampak kalah menghadapi kenyataan bahwa kapitalisme telah mendistorsi nasib hidup para seniman.
Dan sebaliknya, karirku sebagai seorang pelukis malah terus menanjak. Atas sokongan dana dan kekuatan relasi orang tuaku, dengan mudah, aku mengadakan pameran lukisan di tempat mewah dengan tamu ternama. Dengan cara begitu, aku kemudian berhasil menjadi pelukis kondang. Orang-orang berebut membeli lukisanku dengan harga yang mahal. Para kolektor pun memburu lukisanku dengan tawaran harga yang tinggi. Sampai akhirnya, aku bisa hidup mapan.
Tetapi ternyata, sangkaanku bahwa kau teguh menjaga cinta kita di tengah nasib kita yang berbeda di dalam dunia seni, akhirnya buyar juga. Dua hari yang lalu, aku akhirnya mendapati kabar yang meremukkan perasaanku. Di akun media sosialmu, aku melihat undangan digital pernikahanmu dengan wanita yang lain.
Lalu, tanpa kusangka, kemarin malam, kau mengirimkan undangan pernikahanmu itu kepadaku melalui kotak pesan Instagram, seolah-olah kau tak lagi memendam beban perasaan terhadapku. Kau bahkan mengirimkannya dengan menambahkan pesan: Aku akan menikah. Semoga kau cepat menyusul. Datanglah kalau sempat. Oh, ya, terima kasih atas lukisan indahmu dahulu, Maestro!
Sontak, perasaanku campur aduk. Kau akan menikah, dan kau akan hidup dengan wanita yang lain. Tetapi aku tak bisa berbuat apa-apa juga, sebab aku tak punya hak atas kehidupanmu.
Meski begitu, aku akhirnya sadar untuk tidak kecewa terlalu dalam, sebab menjelang pengkhianat ragamu itu, aku bisa membaca kalau kau masih menyimpan perasaanmu untukku. Paling tidak, kau masih tertarik juga mencari-cari kabar tentang kehidupanku, dan kau masih menjaga baik lukisan yang merupakan buah cintaku untukmu.
Karena itulah, meski kau akhirnya akan menikah, cintaku kepadamu masih akan terus hidup, sebagaimana cintamu kepadaku. Meski raga kita pada akhirnya akan bersama dengan yang lain, cinta kita akan tetap terpaut. Sebab itulah, untuk selamanya, aku akan tetap menjaga selembar puisi cintamu untukku.
Dan kini, aku kembali mengeja puisimu itu. Aku mengenang lagi ketika kau berlutut di hadapanku, di tepi sebuah danau, lalu membacakan puisi itu dengan penuh ketulusan. Aku merasakan lagi, betapa membahagiakannya mendengarkan kata-kata cinta yang puitis dari dirimu yang telah lama kuidam-idamkan. Aku menikmatinya, meskipun semua itu telah menjadi kenang-kenangan.
Kini, aku pun jadi bertanya-tanya, apakah kau juga merasakan hal yang sama sepertiku setiap kali memandangi lukisan yang kupersembahkan untukmu?
Lalu, di tengah menunganku perihal kenangan manis tentang kita, tiba-tiba, ponselku berdenting. Aku kemudian bangkit dari kasur pembaringanku, lantas mengecek ponselku di atas meja. Aku lalu mendapati pesan Whatsapp dari seorang kolektor lukisan yang terkenal dan cukup kukenal. Aku pun membacanya dengan rasa penasaran:
Hai, aku mendapatkan tawaran lukisan yang menarik melalui media sosial. Sang penawar mengatakan kalau itu adalah lukisanmu. Ia membuktikan pernyataannya dengan menunjukkan tanda tanganmu di sudut lukisan tersebut. Karena itu, aku ingin konfirmasi darimu, apakah lukisan itu benar-benar karyamu?
Dengan perasaan waswas, aku lantas membuka berkas gambar yang ia sertakan. Dan akhirnya, aku merasakan kepiluan yang mendalam setelah menyaksikan kalau lukisan itu adalah karyaku. Sebuah lukisan yang dahulu kupersembahkan untukmu sebagai tanda cintaku.
Akhirnya, aku harus menerima kenyataan pahit bahwa kau tidak lagi menjaga rasa cintamu untukku dengan ketegaanmu menjual lukisan dariku. Kenyataan itu pun makin getir kurasakan karena aku tak bisa mengelakkan taksiranku bahwa kau menjual lukisan itu demi kelangsungan acara pernikahanmu dengan perempuan yang lain.
Kini, aku pun memikir-mikirkan, harus kuapakan selembar puisi darimu itu?***
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping) atau Facebook (Ramli Lahaping).