Oleh: Gede Sandra*
Memang harus ada yang bertanggung jawab atas terjadinya cost over-run dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Tapi yang lebih penting lagi, harus ada yang bertanggung jawab atas pemilihan China sebagai kontraktor proyek ini. Dan saya rasa orang yang paling bertanggung jawab secara bisnis saat itu adalah mantan Menteri BUMN Rini Sumarno
Pada saat diputuskan memilih kontraktor China, dibandingkan kontraktor Jepang, Rini Sumarno adalah pejabat yang paling agresif melakukan lobby-lobby, bahkan dilakukannya sampai ke Negeri China.
Dahulu (sebelum kemudian membengkak) China menawarkan nilai proyek sebesar US$ 5,5 miliar, sekitar US$ 4,4 miliar (82 persen nilai proyek) dibiayai oleh bank China dengan jangka waktu 50 tahun dan tingkat bunga 2 persen pertahun. Sisa modalnya disetor oleh Konsorsium.
Sementara Jepang menawarkan nilai proyek sebesar US$ 6,2 miliar, 75 persen nya (US$ 4,65 miliar) dibiayai oleh bank Jepang dengan jangka waktu 40 tahun dan bunga 0,1 persen pertahun. Sisa modalnya ditanggung oleh konsorsium.
Bila dihitung, bunga pinjaman China sebesar 2 persen untuk 50 tahun dengan pokok US$ 4,4 akan menghasilkan total pinjaman (dengan bunga majemuk) yang harus dibayar sebesar US 11,8 miliar. Bila ditambah dengan kewajiban setoran modal konsorsium akan menjadi US$ 12,8 miliar.
Ingat, nilai ini sebelum terjadi cost over-run pada proyek.
Bandingkan dengan Jepang, Bunga pinjaman sebesar 0,1 persen untuk 40 tahun dengan pokok US$ 4,65 miliar akan menghasilkan total pinjaman (dengan bunga majemuk) yang harus dibayar sebesar US$ 4,84 miliar. Bila ditambah dengan kewajiban setoran modal konsorsium akan menjadi US$ 6,4 miliar.
Artinya, sebelum proyek dimulai saja, telah terjadi selisih perhitungan bunga berbunga yang merugikan Indonesia dengan memilih kontraktor China dibandingkan Jepang. Dengan memilih China daripada Jepang, Republik Indonesia dipaksa untuk berutang dua kali lipat lebih mahal. Selisih bunga kemahalan yang harus dibayar oleh Indonesia akibat memilih China adalah sebesar US$ 6,4 miliar (sekitar Rp 89,6 triliun). Dan kerugian ini harus ada yang bertanggung jawab secara bisnis, yaitu Menteri BUMN pada era itu: Rini Sumarno.
Sekarang terjadi cost over-run pada proyek yang dikerjakan kontraktor China ini. Nilai proyek dikatakan membengkak dari US$ 5,5 miliar menjadi US$ 7,97 miliar. Tidak jelas siapa yang menanggung cost over-run sebesar US$ 2,47 miliar (Rp 34,5 triliun, kurs Rp 14.000/$) ini. Apakah ditanggung seluruhnya oleh China Development Bank dalam bentuk pinjaman atau oleh konsorsium BUMN?
Bila ditanggung seluruhnya oleh China Development Bank, maka dengan skema yang sama (bunga majemuk 2% dan tenor 50 tahun) maka total pinjaman yang harus dilunasi akan sangat melonjak hingga ke 18,8 miliar dolar AS. Tetap Rini Sumarno yang harus bertanggung jawab karena skema pinjaman dengan bunga yang kemahalan ini adalah peninggalan dirinya.
Bila ditanggung oleh konsorsium BUMN, artinya pemerintah harus siap melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN). Dan benar saja, seperti diketahui pada Juli 2021, Menteri BUMN Erick Tohir sudah mengajukan PMN Rp 8,46 triliun melalui BUMN PT KAI untuk proyek kererta cepat Jakarta Bandung.
Meskipun bila PMN (yang bersumber dari APBN) dikucurkan tentu akan menyalahi komitmen awal seperti yang tertuang dalam Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Presiden no. 107/2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta Bandung yang menyebutkan, bahwa
“Pelaksanaan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah.”
*) Penulis adalah Analis dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat