Kolom

Turba: Dari Kampus ke Pabrik (Cerbung Bagian 2)

81

Berita, Jakarta – Organisasi formal mahasiswa, seperti Senat Mahasiswa, itu sangar penting, bisa menjadi media untuk meluaskan pengaruh kami, pengaruh kelompok kami SMI (Solidaritas Mahasiswa IAIN) di kalangan mahasiswa. Karenanya, kami tak melewatkan peluang itu ketika ada momentum pemilihan ketua Senat Mahasiswa Fakultas. Main kita!

Aswan, Kamal, dan beberapa kawan lain bertarung di Ushuludin. Syor awak lihat performa Aswan. Berpenampilan menarik, tubuh tinggi besar, kalau cakap pun terstruktur, ramah dan berwibawa. Sampai sekarang pun performa Aswan masih seperti itu, bedanya sekarang ia sudah menyandang gelar Doktor, makin cerdas dan makin berisi.

Tak heran sekatang beliau menduduki jabatan cukup bergengsi di PDI Perjuangan Sumatera Utara, sebagai salah satu wakil ketua. Semua modal itu ada pada Aswan yang suatu saat nanti bermanfaat untuk berlaga menuju parlemen.

Sesuai dugaanku, kawan-kawan ini memenangkan pertarungan dengan Aswan terpilih sebagai ketua senat.

Lain dengan kami di Fakultas Syari’ah, kami tumbang. Dengan dukungan dari mahasiswa-mahasiwa jurusan Muamalah-Jinayah kami mengusung Indra untuk bertarung. Ia seorang kader HMI yang cerdas dan handal. Sementara rival kami, nah ini lucunya, Fadly Nurzal, yang juga dari HMI. Orang yang cerdas, ramah dan santun.

Sebenarnya, dan ini lebih lucu, bung Fadly ini juga kawan awak juga nya, akrab pulak dulu di pesantren Darul Ulum. Fadly Nurzal, yang kelak di kemudian hari menjadi politisi handal. Beliau pernah menjabat anggota DPRD dan DPRRI dari PPP.

Indra memang kalah senior, apalagi birokrasi kampus turut intervensi, kalah lah kami. Kami sudah melewati proses administrasi pendaftaran dan kampanye. Namun, panitia menggugurkan kandidat kami, Indra, dengan alasan calon dari kami tak memenuhi syarat administratif. Sebab itu lah kami bersitegang, sempat nyaris kami baku hantam dengan pendukung bung Fadly.

Udin Rantau lah itu yang mengerahkan massa dari berbagai jurusan berunjuk rasa di depan kantor Dekan Fakultas Syariah.

Entah kek mana kawan ini punya kemampuan menggerakkan orang. Sampai di masa-masa ke depan kemampuan Udin Rantau tak berkurang. Hormat awak lah untuk Udin.

Keributan ini sampai ke telinga dekanat. Pak Dekan Prof.Dr. Yasir Nasution panggil awak, karena unjuk rasa itu. Ya , aku anak muda tak mau kalah berdebat lah. Awak pun kesal karena campur tangan birokrat kampus, dan kesal karena gugur. Pak Yasir ini kelak menjabat rektor IAIN dua periode.

Hingga kini hubungan aku dengan beliau malah baek baek. Ternyata beliau dulu kawan sekelas ayahku, juga di IAIN. Jadi malu awak. Semoga Pak Yasir sehat dan selalu dalam lindungan Allah. Tahun 2014 kami jumpa di acara USAID, beliau jadi narasumber, awak panitia. Ternyata beliau masih ingat jelas kisah dulu. Sempat bertanya apa kegiatanku sekatang.

“Saya kerja di USAID mengelola pelatihan guru dan kepala sekolah untuk tingkat Sumut pak,” jawabku.

Saatnya Turuh Gunung

“Turba” adalah istilah baru yang mulai aku kenal sejak kiprah kami dengan SMI (Solidaritas Mahasiswa IAIN), singkatan dari “Turun Ke Bawah.” Ya, yang aku pahami kami yang dari mahasiswa ini perlu “blusukan” ke masyarakat, ke khalayak ramai. Supaya kami bisa paham apa yang mereka pikirkan, supaya kami bisa mengerti apa yang masyarakat rasakan. Supaya…ya macam itu lah kira-kira, panjang nanti klo awak cerita semua.

Turba kami yang pertama ya ke Dusun Anggrek, Desa Ramunia. Kecamatan Pantai Labu, Deli Serdang. Masyarakat Petani yang pernah orang si Heru Binje, Acun dan LSM Bitra dampingi saat konflik tanah dengan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Wigi sangat kenal mereka, karena waktu aksi di DPR RI Jakarta tahun 1994 Wigi cs ikut dampingi mereka.

Tak banyak yang awak ingat tentang Dusun Anggrek ini, selain kegiatan pesantren kilat dan dua gadis manis anak sesepuh dusun itu. Erna dan Sri, mah, Hasan mengingatkanku. Hasan Basri lebih paham kisah dan kasih di seputar Ramunia ini.

Kemudian turba kami yang kedua di perkampungan buruh di jalan Medan-Binjai. Yang satu ini sangat menentukan untuk diri dan pikiran-pikiran ku di masa-masa mendatang.

“Yang aku ingat Lilik yang kasih kontak,” Itu jawaban Wigi saat kami chat di WA beberapa hari lalu, saling bertanya awal mula kami turun gunung ke daerah kawasan industri. Dan sontak awak pun teringat Lilik anak Ushuludin.

“Lilik memang tinggal di sekitar kawasan industri Medan-Binjai, masuk akal kalau Lilik kenal buruh-buruh di sekitar itu, tempat kawan-kawan buruh pabrik Reza Mitra bekerja,” aku menimpali. Situasi memang memanas karena isu upah yang rendah saat itu, begitu cerita Lilik ke kami.

Aku cerita sikit soal Wigi ya wak. Orang ini beberapa kali aku sebut, agak misterius ya? Acun lah yang kenalkan Wigi ke awak.

“Perkenalkan ini Wigi, anak SMID Jakarta,” kata Acun suatu hari di awal 1995. Wigi menyodorkan tangan dan menyebutkan namanya ‘Paris.” Kok Paris? Pikirku dengan agak heran. Sempat kuperhatikan agak mirip-mirip Faris RM memang, penyanyi terkenal akhir 80an-awal 90an dengan salah satu lagunya yang sangat hits ‘Barcelona.’ Ganteng dan nampak cerdas kawan satu ini kuperhatikan.

Tak lama kami akrab, dan belakangan kutahu Wigi alias Paris itu bernama asli Wignyo, aktivis Jakarta asal UI. Wigi sempat lama di Medan, terutama bersama kami anak-anak IAIN dan SMI.

Sejak kehadirannya kami memang lengket, bak perangko. Terkadang beberapa hari dia menginap di rumahku, makan, nyuci, hingga buat diskusi.

Bah, bukan terkadang, sering pun dia menginap, apalagi kolok lagi lapar dan tak pegang uang. Bukan hanya keluargaku yang akrab dengan dia, bahkan tetangga dan kawan-kawanku jalan Permai dekat dengannya. Apalagi kolok sudah ngongkrong di ujung gang, main gitar, terus bernyanyilah kami ‘Biring Manggis’ dan lagu-lagu melayu Deli, koyak semua dompet preman-preman tanggung itu.

Keberadaan Wigi memang membuat kami agak berbeda, lebih bergelora. Aksi-aksi kami lebih berani dan rapat-rapat semakin intens. Diskusi dan pendidikan politik lebih rutin dan tajam. Kami mulai menemukan arah, jalan kami lebih terang (jalan yang diridhoi Allah SWT).

Ya betuĺ, aku ingat pertama kali kami kontak dengan perkampungan buruh itu dari orang si Lilik, seperti yang pernah dibilang Wigi dalam chat WA kami terdahulu.

Dalam chatnya Wigi bilang kontak pertama dengan buruh-buruh Reza Mitra kami dapatkan dari si Lilik, saat itu Lilik cerita tentang keresahan pekerja pabrik Reza Mitra mengenai upah yang rendah.Tak butuh waktu lama, kami mulai buat pertemuan-pertemuan dengan para ‘gembong’ buruh pabrik Reza Mitra. Acun, Aswan, Kamal, Hasan, Udin, hampir semua kawan IAIN turut serta.

Agenda pertemuannya mulai dari membahas kondisi kerja, tuntutan hingga rapat, persiapan aksi dan mogok kerja. Di situ lah awak kenal beberapa orang simpul massanya, ada Anitra Sitanggang, Leni Mandrova dan lainnya. Leni dan Nitra ini luar biasa. Mereka perempuan yang keberaniannya luar biasa dan emejing.

Belakangan Anitra yang turut bersama kami hingga pembangunan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) cabang Medan. Satu serikat buruh yang Ketua Umum nasional nya dipenjara karena mobilisasi puluhan ribu buruh di Surabaya sebelum pecah peristiwa 27 Juli 1996.

Selain perburuhan, Anitra juga aktif di medan perjuangan lain, seperti Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), hingga aksi-aksi gerakan reformasi 1998.

Dari Anitra lah kami kenal Sadwa Ginting, Alex, Ima Rambe, Muning Rahayu, Wahyuti, Yanti, Susi, Ana. Simpul-simpul massa buruh di sekitar kawasan industri. Kelak di 1998 Anitra dan kawan-kawan ini memimpin ribuan buruh mengepung Bandara Polonia.

Cerita Mogok Reza Mitra

Saat kami mengadvokasi kasus Reza Mitra, memang sedikit tegang, menguras energi dan tidak kenal waktu. Bayangkan aja wak, rapat tiap hari hingga malam. Secara sembunyi, karena pihak pengusaha rupanya menyewa pemuda dan ormas setempat untuk mengintimidasi dan memata-matai kami. Belum lagi rapat rapat yang sering di barengi dengan perut lapar karena kehabisan duit.

Setelah diskusi, rapat hingga negoisasi yang tidak membuahkan hasil, maka diputuskanlah mogok. Tapi paten kali ah kawan-kawan ini, cuma butuh beberapa hari pemogokan terjadi.

Awal mogok di depan pabrik, tapi karena deadlock kami lanjutkan aksi unjuk rasa DPRD Sumut. Semua kawan (aku, Wigi, Acun, Kamal, Aswan, Imran, Hasan, Udin) terlibat mendampingi para buruh ini. Termasuk mencegat bus Damri yang membawa para pemogok ini ke DPRD Sumut. Serta mengatur barisan aksi, hingga ke perundingan. Alhamdulillah semua tuntutan dipenuhi oleh pihak pengusaha.

Agak takut juga awak, tapi perasaan jaim (jaga image) melampaui ketakutan ku. Bagaimanapun mereka harus kami dampingi. Jangan kami biarkan mereka aksi sendiri, bisa chaos nanti, tuntutan malah tak terkabul. Begitu pikiranku mengalahkan ketakutanku.

“Kau harus dampingi mereka berunding!”, kata Wigi saat itu. Ngeri kali ah, itu yang terpikir dalam otakku. Aku bolak balik ke dalam halaman DPRD menemui teman-teman buruh dan keluar lagi kordinasi dengan Wigi yang atur demonstrasi ini.

Kalau aku ditangkap kan ribet ini, nanti dianggap provokator, aku kan bukan buruh, aku mahasiswa. Kebayang ngerinya diiinterogasi dan diintimidasi aparat, itu kecemasanku.

Kujumpai lagi Wigi dan kutanyakan sekali lagi “Aku ikut berunding wak? Atas nama siapa? Perwakilan buruh?” Dalam hatiku, cemmana nanti kalo ketahuan, aku bukan buruh, aku pihak luar? Kuatir juga awak.

Dengan wajah dingin dan pasti Wigi meyakinkanku, “Atas nama PPBI Per!”. Alamak! Jantung awak makin berdetak kencang lah, wajah terasa agak pucat. Terbayang harus bicara lantang mewakili pekerja Reza Mitra dan Serikat Buruh di depan perundingan dengan para anggota DPRD dan terutama di depan aparat kepolisian dan tentara yang ‘menjaga’ aksi tersebut. Ah sudah lah, kutemani jugalah akhirnya teman-teman pekerja berunding. Itu lah yang kubilang tadi, rasa jaim melampaui kecemasan.

Serikat Buruh

Setelah berdiri SMID, awak ditunjuk jadi ketua PPBI Medan. Awak gak main lagi di mahasiswa, meskipun kadang bantu-bantu kawan-kawan mahasiswa. Agak curiga aku sama kawan satu ini, Wigi. Rupanya ini awak disuruhnya dampingi teman-teman Reza Mitra, rupanya supaya ada penjelasan rasional kenapa harus aku yang jadi ketua Serikat Buruh, pikirku.

Aku curiga, dia sudah ‘incar’ awak. Entah kekmana dalam pikiran kawan ini, mungkin dia juga sudah mengincar Acun untuk PRD Sumut, Aswan dan Kamal untuk SMID, Udin Rantau dan Hasan untuk Serikat Petani. Hahaha, kimbeklah.

“Per, kau jadi ketua PPBI ya, lusa kita deklarasikan sekalian SMID dan PRD!” Wigi bilang.

Sejatinya aku keberatan sih, “Kenapa harus aku yang PPBI Bung?” Lidahku sudah mulai terbiasa dengan panggilan ‘bung’, meski masih sering dengan manggil ‘pakcik’ atau ‘uwak’. Istilah ‘bung’ mulai akrab di kalangan teman2 aktivis, wabil khusus setelah kedatangan Wigi di Medan. Dengan macam-macam retorika dan argumen, “Selama ini kan kau yang aktif membantu dan mengadvokasi kawan-kawan buruh Binjai, dan mereka percaya sama kau wak.” Itu yang Wigi bilang. Apa kubilang? Benar kan kecurigaanku?

Dan dia menambahkan, “Kan sebelumnya sudah kita diskusikan dan sepakati penempatan dan tugas-tugasnya, Acun PRD, Kamal dan Aswan SMID, Udin dan Hasan STN!” Ya sudah lah awak nyerah, pasrah, kuterima lah setting itu hihi. Kembali perasaan jaim lebih kuat dari kecemasan.

Wigi alias Paris memang telah menjadi bagian dari kami. Setelah deklarasi PRD di Jakarta 22 Juli 1996, 3 hari kemudian kami deklrasikan PRD Sumatera Utara beserta SMID, PPBI dan STN. Setelah pecah peristiwa 27 Juli 1996, akhirnya kami menjadi buronan aparat.

Bersambung

Penulis: Muhammad Ikhyar Velayati | RED

Exit mobile version