Beritaraya.id, Bandung – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini berlaku di Tanah Air sudah out of date atau ketinggalan zaman, sehingga diperlukan pembaruan.
KUHP itu dibuat pada 1800 berdasarkan aliran klasik yang dibawa oleh Belanda dengan pengaruh Perancis.
Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, dalam Pembukaan Dialog Publik terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) di Hotel Pullman Bandung Grand Central, Kota Bandung, Jawa Barat, yang digelar oleh Kantor Staf Presiden (KSP), Rabu (7/9/2022).
“KUHP yang saat ini digunakan itu anak kandung Belanda dan cucu kandung Perancis, ” kata wamenkumham yang biasa disapa Prof Eddy.
Menurut Prof Eddy, KUHP juga memiliki ketidakpastian hukum karena banyak penafsiran.
“Tanpa kepastian hukum itu titik lemah dari KUHP,” tegasnya.
Menurut Prof Eddy, ada lima misi dalam RUU KUHP, yakni misi pertama adalah dekolonisasi, yakni paya menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama.
Misi kedua, kata Prof Eddy, yakni demokratisasi yang berarti pendemokrasian rumusan pasal tindak pidana RUU KUHP sesuai konstitusi (Pasal 281 UUD 1945) dan Pertimbangan Hukum dari Putusan MK atas pengujian pasal-pasal KUHP yang terkait
“Ketiga Konsolidasi penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan Rekodifikasi (terbuka-terbatas),” katanya.
Sedangkan misi keempat, yaitu harmonisasi Sebagai bentuk adaptasi dan keselarasan dalam merespon perkembangan hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (living law) dan
“Misi kelima adalah modernisasi yang berarti filosofi pembalasan klasik (Dood-strafrecht) yang berorientasi kepada perbuatan semata-mata dengan filosofi integrati (Dood-Doderstrafrecht-Slachtoffer) yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku dan korban kejahatan (pemberatan dan peringanan pidana),” jelasnya.
Prof Eddy menambahkan, untuk kohabitasi dan perkawinan pihaknya telah mendapatkan masukan dari tokoh masyarakat di Sumatra Barat agar tetap diatur dalam KUHP.
“Masyarakat di provinsi yang lain justru berharap soal kohabitasi tidak diatur karena sudah masuk wilayah private atau pribadi,” tambahnya.
Prof Eddy menuturkan, salah satu tantangan terberat dalam RUU KUHP yakni mencari titik tengah dari keanekaragaman aspirasi masyarakat. (SLI/RED)